OPINI-SPS FBS UNIMA
Sumber Gambar: GR Stocks on Unsplash
Tanggapan GEN Z Terhadap Politik: Apatis atau Antusias?
Oleh MARHAENY BENEDIKTA TINGGOGOY
04 Juni 2024 | 00.20 WITA
Pada saat ini remaja dan sebagian pemuda yang lahir sekitar tahun 1997–2012 umumnya disepakati sebagai Gen Z. Istilah "Gen Z" ini pertama kali diperkenalkan oleh William Strauss dan Neil Howe dalam buku mereka "Millennials Rising: The Next Great Generation" yang diterbitkan pada tahun 2000.[1] Generasi yang kerap juga dijuluki sebagai Digital Natives ini kerap dipandang sebagai generasi yang apatis mengenai politik. Benarkah demikian?
Gen Z, Siapa Sih Mereka?
Generasi Z kerap digambarkan sebagai generasi yang instan, hedonis, sensitif, konsumtif, pencandu teknologi, anti-sosial, malas hingga banyak lagi. Namun, pada hakekatnya narasi tersebut tidaklah sepenuhnya benar untuk menggambarkan realita yang ada. Justru generasi muda saat ini lebih mandiri daripada generasi yang sebelumnya—mereka tidak ingin merepotkan ataupun menunggu seseorang untuk diajarkan, melainkan mereka mencoba secara autodidak, baik itu dari internet ataupun sumber-sumber yang lain.[2]
Sebagai Digital Natives atau orang-orang yang lahir dan tumbuh di era digital, Gen Z telah mengenal teknologi semenjak kecil. Kelihaian menggunakan teknologi dari dini tersebut membuat mereka lebih mampu dalam multitasking atau melakukan kegiatan lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Secara tak langsung, hal tersebut memengaruhi kepribadian ataupun karakter dari para Gen Z sendiri, yang nantinya mudah terbiasa dengan kecepatan informasi; lebih terbuka terhadap keragaman; lebih sensitif terhadap isu-isu sosial; cenderung pragmatis; autentik; serta menginginkan transparansi.
Jadi, dapat dipahami di sini walaupun banyak pelabelan yang berikan—bahkan yang negatif sekalipun—generasi muda ini justru adalah generasi yang masih berkembang dalam membawa dunia ke arah yang lebih progresif.
Apa Sih Politik Itu?
Pertanyaan tersebut diberikan kepada 16 orang Gen Z, via pesan daring, Sabtu (25/05/2024).
Umumnya respons mereka banyak kemiripan, mereka menjawab bahwa politik adalah suatu hal yang mengenai kekuasaan, pemerintahan dan/atau pemerintah itu sendiri. Jawaban yang diberikan oleh para Gen Z tersebut secara umum dapat dikatakan benar, sebab secara esensi dari definisi politik itu sendiri pada hakikatnya berbicara perihal kekuasaan, pemerintah dan penyelenggaraan suatu negara.[3]
Untuk lebih rinci lagi, Prof. Miriam Budiardjo dalam buku edisi revisinya yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (2008), ia mengemukakan bahwa politik adalah suatu usaha untuk menggapai kehidupan yang baik.[4] Hal ini sama halnya dengan tanggapan dari salah seorang responden, Veltiana Podarang, yang mengatakan bahwa:
“Politik itu sebenarnya sesuatu yang positif dan wajar ada. Politik itu juga adalah cara, contohnya melalui politik kita bisa menentukan baik buruknya keputusan yang akan diambil. Dari politik juga kita dapat menyelesaikan suatu konflik.”
Pendapat Veltiana tersebut membawa kita mundur jauh ke era Yunani Kuno. Era di mana bermunculan pemikir-pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang mulai menggali pertanyaan-pertanyaan seperti mana yang baik mana yang buruk, bagaimana mencapai kehidupan yang lebih baik, apakah perlu adanya suatu peraturan dan pihak-pihak yang mengatur, hingga pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membawa cikal bakal dari terlahirnya apa itu politik.
Kata “politik” sendiri berasal dari istilah Yunani “politikos” yang terdiri dari kata “polis” yang merujuk pada “negara kota”.[5] Negara kota ini merupakan suatu konsep yang menjadi pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, hingga politik masyarakat Yunani. Di Yunani pada masa itu di setiap polis sudah ada sistem pemerintahan dan aturannya masing-masing yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hal ini sejalan dengan tanggapan dari salah seorang Gen Z, Jeiniver Lumentut, yang berkata bahwa, “Politik itu adalah suatu sistem dalam suatu negara yang diterapkan masyarakat untuk mengatur dan membangun penyelenggaraan dalam pemerintahan.”
Tanggapan lain dari Gen Z berikutnya, Oktavianus Wereh, memperjelas bahwa, “Politik itulah bagaimana kita mengelola suatu sistem kekuasaan berdasarkan kebijakan-kebijakan. Termasuk juga perilaku bagaimana kita melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan yang berpacu pada aturan yang berlaku, khususnya pada suatu komunitas ataupun suatu instansi tertentu.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa politik mencakup tata kelola perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik, pengelolaan sumber daya negara, serta pengaturan hubungan antara rakyat dengan pemerintah dalam suatu negara yang terorganisir—hal ini bertujuan demi terselenggaranya suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib.
Mengenai Politik, Apakah Gen Z Apatis atau Antusias?
Antara apatis atau antusias mengenai politik, Pew Research Center melaksanakan survei pada tahun 2018 yang memperlihatkan bahwa hanya 24% Gen Z yang sangat tertarik pada politik. Hal itu menunjukkan angka yang jauh lebih rendah dibandingkan generasi-generasi yang sebelumnya.
Data ini juga diperkuat dengan respons salah seorang Gen Z, Sherina Wenur, yang mengatakan bahwa, “Hal yang terlintas di pikiranku ketika mendengar kata politik itu adalah hal yang negatif, kotor.”
“Mereka (politikus) itu seperti aktor-aktor yang sedang memainkan suatu drama. Di dalam drama yang banyak konflik itu mereka berakting dengan apik; saling adu mulut atau melakukan taktik apa saja hanya untuk mendapatkan kekuasaan. Gila memang, tapi itulah gregetnya politik, seperti drama,” ujar Stevean Paendong, salah seorang responden. Ia bahkan menjabarkan bahwa politik adalah suatu hal yang selalu bersangkutan dengan hal-hal yang rusuh seperti konflik, drama, debat ataupun adu mulut.
Survei serta pendapat dari kedua Gen Z tersebut seakan memperkuat narasi ketidakantusiasan dari Gen Z sendiri perihal politik. Namun dalam hal ini, politik yang dimaksud mereka pada hakekatnya mengarah kepada politik konvensional.
Apa itu politik konvensional?
Politik konvensional merupakan aktivitas politik melalui saluran-saluran institusional seperti pemilihan, partai politik, kelompok atau organisasi kepentingan, serta pemerintahan itu sendiri.[6]
Dapat dipahami secara umum, bahwa politik konvensional ini memiliki hubungan erat dengan suatu proses politik melalui institusi-institusi serta mekanisme-mekanisme formal. Hal ini dapat ditemui pada sistem pemerintahan yang mapan seperti di negara-negara demokrasi contohnya. Tentu saja politik konvensional ini sangat terbalik dengan bentuk-bentuk politik non-konvensional seperti kampanye daring, aksi protes jalanan, gerakan akar rumput, dan sejenisnya.
Pada era revolusi industri 4.0 ini, media sosial seperti TikTok, Instagram, X, dan sejenisnya merupakan platform dari Gen Z untuk berekspresi—baik itu hanya untuk sekedar eksis ataupun berbagi informasi.
Acapkali dalam media sosial kita dapat melihat bahwa Gen Z menunjukkan antusiasme yang luar biasa dalam memviralkan pelbagai isu termasuk politik. Itu artinya, Gen Z kita peduli terhadap politik itu sendiri. Tak hanya sampai di media sosial saja, Gen Z bahkan ada yang melaksanakan aksi nyatanya dengan turun langsung ke jalan.
Di Indonesia sendiri hal tersebut dapat kita lihat dalam aksi-aksi berikut:
Gerakan Tolak Revisi UU KPK (2019). Ketika muncul rencara terhadap revisi UU KPK yang dinilai dapat melemahkan KPK sendiri, Gen Z secara aktif menolak revisi tersebut dengan menggalang petisi daring, berkampanye di media sosial, hingga membawa mereka ke unjuk rasa.
Aksi Tuntut Pengungkapan Kasus Munir (2022). Pada september 2022, mahasiswa hingga aktivis Gen Z dari pelbagai kota di Indonesia menggelar aksi yang menuntut untuk pengungkapan tuntas kasus Munir—yang sampai detik ini belum juga sepenuhnya terungkap.
Kampanye #SavePalestine yang berawal dari media sosial, akhirnya terlaksana di belahan dunia termasuk Indonesia sendiri. Gen Z bersama generasi sebelumnya terang-terangan turun ke jalan dalam mengecam agresi Israel terhadap Palestina. Baru-baru ini terjadi Aksi Bela Palestina dengan slogan “All Eyes on Rafah” yang merupakan seruan untuk memusatkan perhatian ke Rafah, Gaza Selatan.
Prof. Toby S. James dari University of East Anglia, Inggris, menyebutkan bahwa Gen Z merupakan "generasi aktivis." Menurut beliau, Gen Z adalah generasi yang begitu aktif, bahkan melampaui aktivisme konvensional. Gen Z memiliki cara-cara unik dan inovatif dalam memboikot, memprotes, sampai dengan melayangkan petisi daring.
Jadi, dengan menyebutkan Gen Z sebagai generasi yang apatis mengenai politik pada hakekatnya tidaklah tepat. Mereka mungkin saja tampak apatis, terutama untuk politik konvensional.
Namun pada kenyataannya, Gen Z adalah generasi yang antusias terhadap isu-isu politik. Dengan cara yang inovatif serta sesuai dengan gaya hidup digital, mereka menunjukkan bahwa politik itu sebenarnya tidak hanya terbatas pada partisipasi dalam partai ataupun saluran-saluran institusional lainnya, tetapi juga mencakup gerakan seluruh lapisan masyarakat dalam mencapai perubahan sosial yang signifikan.
REFERENCES:
[1] Dimock, M. (2019). Defining generations: Where Millennials end and Generation Z begins. Pew Research Center. Retrieved May 25, 2024, from https://www.pewresearch.org/short-reads/2019/01/17/where-millennials-end-and-generation-z-begins/
[2] Arum, L. S., Zahrani, N. A., & Duha, N. A. (2023). Karakteristik Generasi Z dan Kesiapannya dalam Menghadapi Bonus Demografi 2030. Accounting Student Research Journal, 2(1), 59–72.
[3] Leftwich, A. (2015). What is Politics?: The Activity and its Study. John Wiley & Sons.
[4] Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.
[5] Etymology of politics by etymonline. (2021). Etymonline. Retrieved May 30, 2024, from https://www.etymonline.com/word/politics
[6] Dalton, R. J., & Klingemann, H. (2009). Citizens and Political Behavior. In Oxford University Press eBooks, 3–26.
#anakmuda #generasi #genz #opini #politik
Thank you for publishing my writing!
BalasHapusIf there are any mistakes, please correct me! 🙏