CERPEN—SPS FBS UNIMA
TAWA itu bergema, berlomba-lomba dengan gemuruh guntur di siang hari yang tiada cerah-cerahnya. Ketika tangis langit semakin menjadi-jadi, tawa Marlin pun menjadi-jadi—begitu pula ketika tangis langit reda, tawa Marlin pun reda. Kurus kering badannya dilapisi kulit nan putih pucat. Kantung matanya menghitam bak panda. Sementara merah bibirnya memudar, akan tetapi senyuman itu terus hadir di sana ... walau tampak jelas dipaksa. Dan rambut panjangnya begitu kusut tidak terurus.
“Haiks haiks haiks!”
Lagi-lagi Marlin tertawa. Entah apa yang dia tertawakan. Dia terus-terusan tertawa terpingkal-pingkal. Namun, jika diperhatikan lebih jeli, tawa itu bukan sepenuhnya tawa, ada sesuatu yang tertahan-tahan seperti suatu tangisan yang tersedan-sedan. Siapa pun yang menyadari hal itu pasti ‘kan merasakan iba.
“Hei, kenapa mematung terus ... bosan jadi manusia, ya ‘ndral?
Haiks haiks haiks!” ungkap Marlin kepada pria di sebelah kanannya. Sedari tadi
pria itu mengawasinya dalam diam dan penuh perhatian. Kemudian Marlin kembali
bersuara, “Aku Kartika. Baru kelas satu SMA. Jurusan MIPA. Haiks haiks haiks!
Luar biasa sekali aku bisa masuk di situ, padahal aku tidak ada minat dengan
jurusannya. Asal kamu tahu ya, ‘ndral, orang tuaku senang sekali mendengar
kalau aku masuk di jurusan yang sering ‘dianakemaskan’ itu—ya, keinginan mereka
terpenuhi dan ‘kehidupanku akan baik-baik saja’ kata mereka. Tapi nyatanya,
sekarang ini, aku tidak baik-baik saja ... haiks haiks haiks!
“Aku belajar di kelas dengan terpaksa karena aku belajar bukan
untuk diri sendiri. Aku belajar untuk menghibur dan membuat mereka bangga. Itu
melelahkan, ‘ndral, benar-benar melelahkan ... haiks haiks haiks!
“Aduh ... bahkan menceritakan hidupku ini juga melelahkan! Ke
cerita lain saja, ya, kalo begitu. Eh, ‘ndral, masih dengar nggak sih?”
Pria berjas putih itu tersenyum lembut, layaknya seorang dokter
baik hati dan lemah lembut yang distigmakan orang-orang. Dengan suara yang tak
kalah lembutnya dengan senyumannya, pria itu menjawab, “Tentu saja. Teruskan
ceritanya, aku mendengarmu, Marlin.”
“Haiks haiks haiks, Marlin?! Sudah aku bilang aku ini Kar-ti-ka.
Kartika, Kartika, Kartika, Kartikaaa.”
“Iya, maksudku Kartika ... ayo tarik napas, dan ... buang. Ya,
begitu coba diulangi.” Refleks saja Marlin mengikuti kata pria berjas putih
itu. “Nah, sekarang coba lihat ke atas sana. Hujannya tinggal rintik-rintik,
tuh!”
Marlin maju selangkah tampa ragu-ragu keluar dari tempat teduh.
Kemudian dia menengadahkan kepalanya ke langit. Rintik-rintik hujan pun
membasahinya. Namun dia sendiri pun tak masalah dengan itu. Dia melompat-lompat
kegirangan, air hujan yang menggenang terciprat di sekelilingnya, bahkan
membasahi jas putih milik si pria.
“Sudah Kartika, berhentilah ... nanti besok lagi ya, sekarang ayo
kita kembali!”
Marlin menggeleng kuat-kuat. Rambutnya yang sudah acakadut lebih
acakadut lagi. “Ceritaku belum selesai. Aku mau cerita. Kamu, ‘ndral, dengar
dulu ceritaku!”
“Ya, baik. Tapi kalau sudah selesai cerita kita kembali, oke?”
Hening tiba-tiba terjadi di antara mereka ... yang riuh hanyalah
bunyi guntur yang memberikan kesan menegangkan seperti di film-film horor.
Air muka si pria berjas putih tampak waswas menunggu reaksi
Marlin. Sementara Marlin sendiri hanya bergeming tanpa ekspresi yang sulit
dimengerti, dan itu pertanda yang kurang baik pikir si pria. Namun beberapa
saat kemudian Marlin tetiba saja tersenyum lebar, sangat sangaaat lebar!
Dengan nada ceria Marlin pun bersuara, “Oke!”
Marlin menduduki pinggiran rooftop yang diamankan dengan pagar
besi. “Hei, ‘ndral, dekat-dekat sini ...,” dia menepuk-nepuk sebelah kanannya,
“aku akan mulai ceritanya.”
Pria itu pun keluar dari tempat teduh, dan bergabung dengan Marlin
dibasahi rintik-rintik hujan.
Tak tunggu lama, Marlin mulai bercerita. “Di suatu negeri—oh,
negeri ini sangat lucu. Haiks haiks haiks! Saking lucunya, ‘ndral,
sampai-sampai yang melihatnya menjadi ingin tertawa tersedu-sedu. Banyak anak-anak
binatang menjadi korban. Pasar-pasarnya menyediakan organ-organ anak binatang
yang malang, lengkap lagi dari kepala sampai kaki! Banyak virus-virus yang
menyebar.
“Negeri Komedi Putar, begitu nama negeri itu. Di Negeri Komedi
Putar ada sebuah sistem, namanya Sistem Kedodolan yang mengikat masyarakat
dengan undang-undang bikin pusing tujuh kali tujuh kali tujuh kali! Siapa sih
yang membuat sistem itu? Seenak jidat saja menentukan mana yang benar, mana
yang salah. Mana yang mesti dikontrol, mana yang tidak. Mana yang didukung,
mana yang tidak. Dan mana yang mesti dijadikan binatang peliharaan, dan mana
yang tidak. Haiks haiks haiks! Binatang kok pelihara sesama binatang, aduh aduh
aduh tidak sadar diri, haiks haiks haiks!
“Negeri Komedi Putar itu, ‘ndral, dikuasai sama kaum tikus.
Sementara kucing-kucing dan binatang lainnya ada yang menjadi penjilat dan
sejenisnya lah. Miris nggak tuh, haiks haiks haiks!
“Di Negeri Komedi putar ada dua permukiman, yang satu
kilau-silau-gemilau dengan berbagai desain glamour nan kokoh. Wah, bukan main
ya? Anti hujan, anti petir, dan anti badai. Tapi ... tidak anti kecongkakan,
tidak anti kezaliman, dan tidak anti kerakusan. Haiks haiks haiks!
“Oh, sementara di permukiman yang satunya lagi, ‘ndral, berdirilah
bangunan-bangunan reyot nan penuh tinja dan sampah. Masyarakat di permukiman
itu tidak perlu susah-susah cari makanan ... sampah dan bahkan tinja pun
dimakan—demi bertahan hidup di Negeri Komedi Putar. Tentulah mereka merasa
cukup kenyang daripada mencuri seperti para tikus yang tinggal di permukiman
serba kilau-silau-gemilau bikin sakit mata itu. Haiks haiks haiks!
“Oh iya, pendidikan? Pendidikan di sana, ‘ndral, sudah pasti hanya
mencerdaskan anak-anak tikus. Sementara anak-anak binatang lain, seperti
anak-anak anjing ... mereka dididik menjadi binatang yang baik dan patuh.
Sementara anak-anak kucing ... haiks haiks haiks! Tak perlu pelajaran pun tak
apa lah, asalkan jago menjilat dan harus setia pada tikus. Dengan begitu
kucing-kucing dapat ikan yang enak-enak untuk hidup sehari-hari, seperti itulah
nasib kucing di Negeri Komedi Putar.
“Jenderal, di negeri itu ada banyak pula yang berbicara kayak
superhero dengan kata-kata sebagai berikut: “Ini semua untuk pembangunan
bersama, ini semua demi kepentingan bersama, ini semua demi mencapai cita-cita
bangsa, dan bla bla bla ....” Ternyata oh ternyata, ‘ndral, setelah diteliti
lebih cermat lagi ... maksud mereka itu sebenarnya demi pembangunan permukiman
kilau-silau-gemilau, demi kepentingan sendiri, dan demi mencapai cita-cita
bangsat. Haiks haiks haiks, dasar binatang!
“Kaum-kaum intelektual (katanya) atau memang (sok) intelektual
... asyik sekali berdebat mencari jalan keluar untuk membantu yang lemah dan
tidak mampu. Iya, katanya berdebat demi kepentingan Negeri Komedi Putar dan
masyarakatnya ... ternyata malah kayak olahraga boxing, saling pamer otak siapa
yang paling berotot dan berurat—dan mulut siapa yang paling sedap dan pedas
terdengar. Melihat kelakuan kaum yang (katanya) intelektual ini, ‘ndral,
menangislah ibu pertiwi mereka sampai keluar ingus. Haiks haiks haiks ...
kasihan oh kasihan sekali ibu pertiwi Negeri Komedi Putar.
“Hmn ... bagaimana dengan pencerahan? Kurang berguna di Negeri
Komedi Putar, ‘ndral. Banyak kalimat ‘omong kosong’ di sana. Kalimat yang
isinya ya, ‘ndral, isinya itu banyak iming-iming penuh mimpi indah—kayak
wonderland atau candyland—yang manis-manis, tapi nyatanya bikin diabetes tuh.
“Semuanya akan indah pada waktunya”; “Bekerja keras dan tetaplah nomor satu”;
“Beranilah ambil resiko” nah, kalo resikonya kecebur kan mampus bin taubat! Oh,
ya, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat motivasi dari Negeri Komedi Putar,
yang sayangnya hanya sekedar ungkapan-ungkapan indah dari para motivator yang
ingin mulia dan numpang tenar di depan binatang-binatang. Satu kalimat saja
dari para motivator, sudah berbunyi duit—eh, emas batangan malah.
“Itulah ceritaku tentang sebuah negeri yang bernama Negeri Komedi
Putar, ‘ndral. Sudah, aku lelah. Lanjut besok saja.”
***
BEGITU Marlin selesai bercerita, seperti biasa aku
mengapresiasinya dengan tepuk tangan paling meriah. Yah, walaupun gadis itu
sama sekali tak memedulikan apresiasi dariku. Tapi setidaknya dia tampak lega bercerita
untuk orang lain.
Perkenalkan, nama lengkapnya itu Marlina. Namun, dia tak suka ternyata dengan nama itu. Oleh karena itu, dia kerapkali menyebut dirinya sendiri sebagai Kartika, yah ... kadang-kadang juga Jubaedah, Sumarni, Sintje, Mintje, bahkan Keke. Aku lupa nama-nama lainnya, sebab dia menciptakan nama yang banyak sekali untuk dirinya sendiri.
Pasienku yang satu ini memang unik dan berbakat. Dia pandai bercerita, pandai juga bernyanyi, dan pandai juga menggambar. Sayang sekali Marlin yang penuh bakat ini dibawa ke sini setelah beberapa bulan dia lulus dari SMA. Entah apa yang terjadi setelah hari-hari kelulusannya, yang pasti Marlin mulai melantur segala macam hal kepada orang tuanya, tetangganya, bahkan kepada orang-orang asing yang dia temui.
Marlin masih menganggap dirinya sebagai siswi SMA. Sering pula dia
mengaku sebagai agen BIN yang ingin melawan orang-orang di balik layar ... hmn,
entah siapa yang dia maksud—tapi aku tidak terlalu peduli soal itu. Dan dia
juga sering mengaku sebagai budayawan yang begitu peduli terhadap rakyat dan
negeri ini. Benar-benar memusingkan, di dalam diri seorang Marlin seakan-akan
ada banyak orang yang bernaung.
“Nah, sudah selesai ceritamu. Sekarang ayo kembali Marlin!”
Tangannya yang dingin tiba-tiba membungkam mulutku. Katanya,
“Diam, ‘ndral ... namaku Kartika, Kar-ti-ka!”
Berlahan-lahan aku menurunkan tangannya yang dingin dan kurus bak
ranting; sungguh-sungguh kurus sekali. “Iya, namamu itu Kartika. Oh, lihat ini
Kartika, kita sudah basah gara-gara hujan. Ayo kembali dan ganti baju, oke?
Supaya tidak masuk angin.”
Marlin melotot, sangat marah. “Tidak! Kenapa orang-orang selalu
menyalahkan hujan? Padahal hujan tidak pernah salah sama kita, kok, yang ada
kita yang salah sama hujan ... selalu menyalahkan hujan. Haiks haiks haiks!”
Sungguh pasien yang benar-benar merepotkan. “Hei Kartika, dengar
dulu ... kamu tahu apa yang ada di dalam sana?” Kutunjuk ke sebuah pintu, di
mana ada tangga untuk kembali ke bawah.
Dia menggeleng. “Aku tidak bisa menebak. Hmn ... tunggu, kamu
jangan membohongiku, ‘ndral, karena aku sudah menceritakan negerimu, Negeri
Komedi Putar. Haiks haiks haiks!”
“Tidak Kartika, aku tidak ada niat untuk begitu. Malahan aku ingin
memperlihatkan ‘sesuatu’.”
“Sesuatu?! Apa itu induk red bull? Pikopi sianida? Oh, Joni Piring
mungkin? Van Gogh? Aduh, aku jadi bingung. Apa jangan-jangan ‘sesuatu’ itu
‘rahasia’?”
“Ya, rahasia, rahasia besar yang—”
“Haiks haiks haiks, kamu pasti bohong, ‘ndral!” Dia benar, tapi
kalau tidak dengan kebohongan ... bagaimana lagi aku harus meladeni pasien gila
sepertinya?
Sekali lagi kutunjuk pintu metalik di seberang sana. “Di situ ada
sesuatu, sesuatu yang akan mengungkapkan kebenaran. Kamu nggak tertarik ya
membongkar apa itu, Kartika?”
“Katakan saja apa itu, ‘ndral?” Perkembangan yang bagus, dia mulai
tertarik.
“Ya rahasia dong. Kalau mau tahu ... ayo masuk ke sana dan
ungkapkan kebenarannya, Kartika!”
Berlahan aku berjalan ke pintu. Sementara Marlin dengan langkah
yang sama perlahannya sepertiku mengekor di belakang, dia memasang wajah
penasaran. Tanpa rasa curiga lagi dia mengikutiku menuruni tangga-tangga di
balik pintu metalik hingga sampai di depan kamarnya, kamar nomor 121.
“Sesuatu itu ada di dalam ruangan sana. Masuk saja ke situ, dan
lakukan keinginanmu. Rahasianya ada di balik seprai,” bisikku dengan penuh
keyakinan.
“Hmn ... sepertinya tempat ini tidak asing,” gumam Marlin sambil
memasuki kamar nomor 121.
Pelan-pelan dan pasti Marlin masuk ke dalam. Ketika dia sibuk
mengobrak-abrik seprai, secepat mungkin kututup pintu kamar itu. Sadar dirinya
dijebak, Marlin lantas berteriak-teriak mengumpat. Untunglah selama dia fokus
dengan bisikanku tadi, aku sempat diam-diam menyuntiknya tanpa dia sadari.
Efeknya tak lama lagi bekerja, dia pasti akan kembali tenang.
Akhirnya tangis langit sudah selesai, begitu pun dengan
pekerjaanku hari ini. Pasien-pasien sudah selesai diurus. Sungguh, pekerjaan
ini benar-benar menguras segenap tenaga jiwa dan ragaku. Biar begitu aku tetap
menyukai pekerjaan ini.
Aku akan kembali ke rumah. Bertemu dengan keluarga kecilku
tersayang; istri dan dua bayi kembarku yang menggemaskan. Sungguh, aku tidak
sabar untuk duduk makan malam dan bercanda gurau bersama mereka lagi—itu
pelepas penat yang paling menyenangkan.
Kakiku melangkah ke tempat parkir. Aku siap mengendarai Blackie,
si sedan hitam. Namun entah kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Aku tidak ingat
pasti kalau mobilku ada masalah, terlebih lagi pada bagian pintu.
Tetiba saja ada seorang teman, sesama dokter, menepuk bahuku dari
belakang.
Dengan lantang dia berteriak, “Hei, ini mobilku, sedang apa
kamu—eh, kamu?!”
Oh, pantas saja tidak bisa dibuka. Ternyata aku salah mobil.
Mobilnya mirip dengan mobilku. “Oh, astaga. Mobilmu ini mirip mobilku, aku kira
ini—”
“Satpam, satpam, paaak, ada pasien yang mau kabur di sini!”
“Pasien? Apa maksudnya? Aku dokter juga di sini, kamu gila ya?”
“Tidak, kamu yang gila!”
Dua orang satpam datang. Aku ditahan seperti terpidana kasus perampokan. Mereka pun menyeretku masuk kembali ke RSJ. Ketika melewati kamarnya Marlin, perempuan muda itu tersenyum lebar kepadaku, sangat-sangat lebar.
“Astaga, ‘ndral, kamu juga? Haiks haiks haiks, Kasihan oh kasihan sekali!” []
_____
Cerpen ini pernah dipublikasikan oleh penulis sendiri lewat salah satu platform online dengan nama pena Mart Bee. Cerpen ini pertama kali ditulis pada 18 Oktober 2020, lalu direvisi 18 Mei 2023, dan untuk kedua kalinya direvisi pada 13 Juni 2023.

Komentar
Posting Komentar