OPINI – SPS FBS UNIMA
Sumber Gambar: George Milton on Pexels
Mahasiswa di Persimpangan Apatisme dan Produktivitas Semu
Oleh: MBT
01 Mei 2025
Dewasa ini mahasiswa diperhadapkan dengan pelbagai tugas, yakni yang paling populer pun bergengsi sekarang perihal menyusun artikel ilmiah. Pada hakekatnya hal tersebut sudah menjadi kewajiban demi memenuhi tugas dalam perkuliahan pun memenuhi tingginya standar akademik. Mahasiswa sekarang jika dilihat-lihat memang terlihat produktif. Namun di balik keproduktivitas tersebut muncul pertanyaan, apakah mahasiswa benar-benar memahami isi dari artikel ilmiah yang mereka susun itu?
Mahasiswa tampak sibuk tetapi tak diiringi dengan kesadaran intelektual. Fenomena miris ini merupakan produktivitas semu. Ya, mahasiswa (sibuk) menulis. Namun, dalam proses tersebut acapkali mereka tidak menyelam ke kedalaman lautan pemikiran, karena mereka lebih memilih terombang-ambing mengikuti arus praktisitas. Artikel demi artikel terproduksi tanpa disertai nilai reflektif. Hal ini memperlihatkan kontras bahwa terjadi peningkatan kuantitas tetapi apa kabar untuk kualitasnya?
Bisakah dan sanggupkah mahasiswa terbebas dari kesibukan akademik yang dangkal ini, sementara di sisi lainnya muncul gejala apatisme?
Artikel-artikel ilmiah ternyata banyak juga yang mengkaji tentang perubahan sosial. Namun pada kesehariannya mahasiswa hari ini enggan untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Dari sini dapat dilihat bahwa individualisme berperan dalam gejala apatisme ini.
Sementara itu, diskusi-diskusi kritis mulai meredup digantikan dengan presentasi-presentasi yang nyatanya hanya formalitas belaka. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti mengapa kita belajar ini mengapa kita belajar itu sudah jarang terdengar. Hal ini disebabkan karena pertanyaan yang muncul sekarang bukan lagi berasal dari benak keingintahuan, melainkan asalnya itu dari hasil pencarian menggunakan Artifial Intelligence. Bukan berarti produk teknologi ini buruk, tetapi ini tentang pemanfaatan dari bagaimana penggunanya agar bisa bijak.
Seorang filsuf, namanya Karlina Leksono Supelli, pernah mengatakan bahwa,
"Membaca buku tidak bisa digantikan dengan tiktok, dengan nonton film, itu tidak bisa. Karena kerja otak itu hanya bisa dilatih menjadi tajam kalau otak itu berdialog. Jadi, pemikiran akan menjadi tumpul kalau tidak—tumpul dalam arti bukan bodoh—tetapi tidak cukup kritis, tidak cukup tajam untuk mengkronfrontasikan kesadaran kita dengan masalah-masalah yang kalau di buku itu bisa kita dalami."
Karlina mengingatkan bahwa membaca buku itu tidak dapat digantikan untuk melatih berpikir secara mendalam. Konten-konten video pendek di sosial media dan pelatihan daring memang lebih efisien dan instan dalam menyajikan informasi. Namun sayangnya tak melalui proses dialog batin dan pemahaman yang mendalam, akhirnya yang terjadi adalah wacana dangkal. Risiko hilangnya landasan berpikir sangat terasa hari-hari ini dengan matinya keahlian. Pemikiran para ahli digantikan dengan algoritma yang menyajikan konten-konten viral.
Jika mahasiswa terus-terusan diam sambil menyimak di depan layar tanpa disertai literasi digital, maka apatisme dan produktivitas semu akan terus ada—bahkan terpelihara.
Sampai kapan mahasiswa diam, diam dan terus diam menjadi mesin produksi jurnal demi akreditasi dan gengsi tinggi institusi?
Mengapa mahasiswa tidak berani dan hanya terus-terusan patuh pada sistem yang mengutamakan statistik produktivitas semu?
Bukankah seharusnya mahasiswa adalah agen perubahan, yang bukan hanya sebagai voice tetapi harus juga sebagai noise yang terus menggugat layaknya seorang anak yang rewel karena kebutuhan dan kemauannya tidak terpenuhi.
Komentar
Posting Komentar